Peluang Muslim Indonesia
BELANTARA- Fenomena arab spring begitu menguras energi umat Islam di kawasan tersebut. Apalagi bagi aktivitis muslim di negara-negara yang sedang dicengkeram oleh militer ataupun pemerintah diktator seperti Mesir, Libya, Suriah.
Prioritas aktivis muslim di sana adalah bagaimana bisa bertahan di depan tirani mengerikan pemerintahnya. Maka secara entitas, mereka tidak mempunyai waktu untuk berfikir dengan tenang tentang problem kemanusiaan dan memikirkan narasi alternatif untuknya apalagi menawarkan global system.
Begitupun aktivis muslim di Eropa, yang sedang sibuk menunjukan jati diri dan eksistensi mereka di depan masyarakat lokal Eropa, di tengan ancaman rasisme, dan intimadasi sosial dan psikologis pasca beberapa pemboman di Eropa. Selain itu, secara kuantitas dan kualitas pemahaman Islam, generasi muda muslim Eropa tidak cukup mumpuni untuk menjadi guru-guru Islam bagi negara-negara Eropa. Bahkan bahasa Arab yang menjadi bahasa asli kakek nenek para imigran Arab pun kian terkikis di lidah mereka.
Mungkin hanya aktivis muslim di Turki yang mempunyai kesempatan untuk berfikir di luar problematika dalam negeri. Untuk memulai memikirkan narasi besar untuk kemanusiaan. Dan mereka mempunyai kapasitas juga aset untuk mendukung narasi besarnnya. Proyek besar ‘<em>The New Ottoman</em>’ yang dipromosikan Erdogan menjadi ruh baru negara Turki. Narasi Erdogan terkesan nasionalis bagi rakyat Turki, namun para peneliti yang jeli akan sampai pada kesimpulan ini: membangkitkan nasionalisme Ottoman (Ustmaniyyah) sama saja dengan membawa Islam kembali ke pusaran kekuatan global. Karena sejarah Ustmaniyyah adalah sejarah Islam, bukan sejarah leluhur bangsa Turki, Jengiz Khan yang hidup di stepa Asia Tengah dengan kebengisan.
Namun beberapa waktu terakhir, bom beledak terturut-turut di kota-kota Turki. Stabilitas mereka sedang digoncang dan mereka mempunyai PR baru untuk membangun soliditas rakyatnya lagi. Tantangan terbaru mereka adalah lawan-lawan Eropa yang mulai mengkonsolidasi diri menghalau ekspansi pengaruh Turki di tanah mereka.
Menanti Turki sebagai satu-satunya pelopor dan pemimpin umat bukanlah langkah strategis, walaupun harapan harus terus ditanam dihati umat. Maka saya berfikir, umat Islam haruslah mempunyai tawaran narasi alternatif diluar proyek ‘New Ottoman’ yang sedang mereka perjuangkan.
Dalam konstelasi itu, saya berkeyakinan bahwa pemuda Indonesia-lah yang sedang diberikan Allah kesempatan keleluasaan waktu dan keterangan pikiran untuk merumuskan narasi baru kemanusiaan. Pergerakan Islam di Indonesia tidak di bredel, tidak dimusuhi tentara, memikmati iklim demokrasi yang baik, dan kita mempunyai sumber daya melimpah secara kuantitas dan kualitas.
Dalam beberapa tahun lagi, Indonesia akan menghadapi apa yang disebut dengan bonus demografi. Yang artinya meledaknya jumlah anak muda dalam usia potensi kerja. Hal ini pada gilirannya menjadi aset mahal untuk diakomodir oleh gerakan Islam untuk dijadikan tim perealiasasi narasi-narasi besar.
Potensi kuantias tersebut yang tidak dimiliki seluruh pemuda muslim di Eropa dijadikan satu, potensi keluangan waktu dan ketenganan pikiran yang tidak dimiliki pemuda muslim di Timur Tengah ataupun Turki.
Maka trend dunia perlu kita kuasai benar. Agar kita bisa memformulasi narasi yang memang sejalan dengan nafas zaman. Saya melihat bahwa hari prioritas lapisan pemikir strategis gerakan Islam sangat perlu fokus pada kekuatan ekonomi yang lihai bermain dalam global economic order, lalu pendidikan yang produkif, produksi masal budaya populer juga invesasi panjang di dunia militer yang semuanya dirangkum dalam narasi yang utuh. Karena merekalah aktor utama global governance hari ini.
Pada akhirnya pembaharuan dan narasi global umat haruslah lahir dari kapasitas generasi pemimpin dan pemikir dengan pengetahuan yang kokoh dan pengalaman lapangan yang matang. Dan semua itu tetaplah haruslah bermula dari 4 syarat.
Pertama, cara belajar dan <em>mindset</em> baru atas realitas dunia.
Kedua, <em>tools</em> dan sumber pembelajaran baru atas perkembangan teknologi informasi yang dahsyat.
Ketiga, pemahaman yang memadai akan nilai Qur’ani, filsafat sejarah, metodologi berfikir, ekonomi makro, geopolitik dan strategi intelijen.
Keempat, tim solid yang fokus dan sabar merumuskan narasi global umat dalam jangka waktu tertentu tanpa tepuk sorak penggemar serta sorot media yang hingar bingar, tapi dalam sunyi yang panjang. Tim ini bukanlah priviledge aktivis gerakan Islam, tapi panggung terbuka bagi semua muslim yang berobsesi besar untuk investasi pemikiran yang menjadi platform umat dan mungkin bertahan satu abad kedepan.
Pada prakteknya, tim ini memerlukan diskusi intens yang real secara massif di berbagai tempat dalam berbagai level. Sehingga hasil-hasil diskusi itu bisa membangun bangunan narasi yang konstruktif secara bertahap.
Dalam tulisan-tulisan berikutnya, kita akan kaji bersama, keempat hal diatas secara sistematis. Sebelas tulisan di serial ‘Narasi Global Umat’ hanyalah pengantar untuk kajian inti kita, sehingga setiap pembaca bisa mempunyai ritme berfikir yang sama untuk mulai bekerja. Yaitu bekerja merumuskan ‘Narasi Global Umat’. Kerja besar ini memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit, tapi dari sanalah kematangan narasi tercipta, tidak ada jalan pintas. (sumber: elvandi.com/Habis)