BELANTARA – Dalam Film G-30 S/PKI yang dibuat pemerintah Orde Baru, juga dalam buku sejarah yang diterbitkan oleh rezim Soeharto tersebut, digambarkan kalau peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan berujung pada terguling Soekarno dari kursi kepresidenan itu, dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun belakangan banyak kalangan yang meragukan versi tersebut karena apa yang dipaparkan Orde Baru dalam film dan buku sejarah, terlalu banyak yang janggal dan aneh, seolah ada missing link dalam paparan tersebut.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M. Sembodo meyakini, jika pemahaman tragedi yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 itu hanya dikaitkan dengan Soeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA, persoalannya memang menjadi buram dan bak cerita misteri. Namun jika juga dikaitkan dengan seorang pastor dari Amsterdam yang akrab disapa Pater Beek, maka masalahnya menjadi terang benderang.
Peristiwa G-30S/PKI, menurut Sembodo dalam buku tersebut, bukan sekedar tragedi politik semata, namun ada tujuan lain di baliknya. Dan anak bangsa yang terlibat di dalam tragedi itu hanyalah pion-pion yang dimanfaatkan dan dikorbankan demi tercapainya tujuan tersebut, yakni melanggengkan penjajahan atas Indonesia agar kekayaan sumber daya alamnya dapat dikuras, dan demi penyebaran agama Katolik. Lantas siapakah Pater Beek?
Beek lahir di Amsterdam, Belanda, pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dikuasai oleh negaranya, ikut menarik minat Beek remaja untuk dapat ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala Beek berusia 22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan dari misi yang kedua ini jelas, agar masyarakat Pulau Jawa dapat dikuasai dan penjajahan negaranya terhadap Indonesia, dapat dilanggengkan.
Beek bekerja dengan sangat baik karena ia mencatat apa pun yang berhasil ia amati setiap hari dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa. Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu Beek bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya, yakni Islam. Itu sebabnya kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama yang diajarkan Rasulullah Saw ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Beek bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan dengan lebih mudah.
Selesai melaksanakan tugas, Beek kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengkristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.
Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemasonry atau Vrijmetselarij.
Anda mungkin meragukan hal ini, karena menurut Anda, bagaimana mungkin seseorang menjadi agen dua organisasi sekaligus? Kalau begitu, mari kita mundur jauh ke belakang, ke abad 13.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar