Menyajikan Informasi Istimewa dan Penting

Memuat...

Selasa, 31 Mei 2016

Organisasi Yang Ikut Berperan Merusak Indonesia – 3

BELANTARA – Awal-awal kemerdekaan RI merupakan awal-awal yang menegangkan bagi para pelaku sejarah, terutama yang beragama Islam, karena pada saat itulah mereka harus ‘berhadap-hadapan’ dengan wakil para Freemasonry yang ingin ‘menggenggam’ Indonesia sebagaimana organisasinya telah menguasai Amerika dan menjadikannya sebagai kuda Troya demi mengusai dunia. Mengapa organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu sangat menginginkan Indonesia? Jawabannya mudah.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah, minyak, emas, perak, batu bara, dan sebagainya, dan merupakan negara yang amat luas dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Untuk dapat menguasai dunia, Yahudi membutuhkan sumber dana yang tak terbatas, maka strategi Adam Weishaupt, salah seorang tokoh Freemason, diberlakukan di sini, yakni penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi dan kekayaan keturunan.
Dengan menerapkan strategi ini, maka dapat dimengerti mengapa tak lama setelah Soeharto diangkat menjadi presiden untuk menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967, dengan dalih kerjasama dalam bentuk kontrak karya, pada tahun itu juga Soeharto dengan ikhlas ‘menyerahkan’ lahan tambang di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, untuk dikelola Amerika. Hingga kini Indonesia hanya menikmati secuil dari cadangan kekayaan alam di sana, karena 81,28% saham di PT. Freeport Indonesia, perusahaan pengelelola lahan tambang itu, dikuasai Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., yang berkantor pusat di New Orleans. Gilanya lagi, 9,4% saham di PT. Freeport Indonesia dimiliki PT. Indocopper Investama yang 100% sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., sementara saham pemerintah Indonesia sebagai pemilik lahan hanya 9,32%!
Padahal, cadangan tembaga di Tembagapura itu disebut-sebut sebagai ketiga terbesar di dunia, sedang cadangan emasnya merupakan yang terbesar di dunia. Per tahun, dari lahan ini PT. Freeport Indonesia mengeduk pemasukan sedikitnya US$ 2,3 miliar.
Selain beroperasi di Indonesia, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. juga menggarap lahan tambang di Colorado, New Mexico, dan Arizona, ketiganya di Amerika Utara. Juga beroperasi di Chili dan Peru (Amerika Selatan), serta Kongo (Afrika).
Dengan strategi penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi, sejak awal kebangkitan Indonesia pascakemerdekaan, terutama selama era Orde Baru, Freemasonry melalui para Mason-nya di Indonesia, mempropagandakan ide-ide yang menyatakan bahwa produk luar negeri lebih bermutu dibanding produk dalam negeri, dan orang akan merasa lebih bergengsi bila dapat mengonsumsi atau mengoleksi barang-barang buatan luar negeri, sehingga apa pun yang diproduksi di luar negeri, terutama Amerika Serikat, laris dibeli oleh orang Indonesia. Maka tak heran jika pemerintah harus berjuang habis-habisan agar bangsa Indonesia lebih mencintai produknya sendiri. Hingga kini, karena ide-ide itu telah tertanam kuat di benak sebagian bangsa Indonesia, terutama di kalangan atas, upaya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Maka jangan heran jika produk KFC, Mc Donald dan sebagainya, sangat laris, sementara produk sejenis (ayam goreng atau fried chicken) yang dijual di restoran Indonesia dan warteg, hanya menjadi konsumsi masyarakat kalangan bawah, serta sebagian kalangan menengah. Jadi, tanpa kita sadari, sejak awal Soekarno terguling pada 1967, Yahudi melalui Freemasonry tak hanya menjadikan Indonesia sebagai ‘lumbung uang’ yang dapat dikeruk setiap hari, tapi juga menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar produk-produk yang juga mereka hasilkan.
Di dunia hiburan, mereka menjadikan Amerika sebagai yang terdepan, sehingga dibanding film-film dan musik yang dijual negara lain, penduduk Indonesia lebih menyukai film-film dan musik buatan Amerika, bahkan menjadikan negara itu sebagai barometer. Jadi, sekali lagi, tanpa disadari kita sebenarnya telah dikepung Yahudi dari berbagai arah agar mereka mendapatkan income sebesar-besarnya dari Indonesia demi tujuan menguasai dunia.
Puncak ketegangan para pejuang non Masonik dengan para Masonik pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, menurut Herry Nurdi dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia” adalah hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta atau The Jakarta Charter yang menjadi pembukaan UUD 1945. Ketujuh kata dimaksud adalah “ … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Piagam Jakarta dirumuskan oleh tim sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wachid Hasyim, dan Muhammad Yamin, dan ditetapkan pada 22 Juni 1945. Ketujuh kata itu hilang pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah teks Proklamasi dibacakan. Salah seorang yang berperan atas hilangnya kata itu adalah Muhammad Hatta.
Dalam buku berjudul “Sekitar Proklamasi 17 Ags 45” pada bab 5, Bung Hatta menjelaskan; “pada sore hari saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda, yang menanyakan dapatkah saya menerima seorang opsir kaigun (Angkatan Laut Jepang), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri yang menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia”.
Atas hilangnya tujuh kata itu, Muhammad Roem mengatakan begini; “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam merelakannya. Karena itu Menteri Agama Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara menamakan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada RI”.
Namun dalam pengantar buku “Piagam Jakarta 22 Jumi 1945” yang ditulis H. Endang Saifuddin Anshari, Roem mempertanyakan begini ; “Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Darimana Kigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik Indonesia kalau ketujuh kata itu ada dalam preambule UUD 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. AA Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam pleno BPUPKI yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari, seorang pemimpin terkemuka?”
Jadi, jelas ada yang bermain di balik hilangnya ketujuh kata tersebut, dan diduga kuat para Mason lah pemain tersebut, karena Yahudi tak menyukai agama, termasuk Islam, dan Yahudi tak ingin Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, menjadi negara yang berlandaskan Islam. Mereka ingin Indonesia menjadi negara sekuler, negara yang tidak membaurkan agama dengan pemerintahan. Apalagi karena seperti telah diulas sebelumnya, Haji Agus Salim dan Achmad Soebardjo merupakan anggota Perkumpulan Theosofi, sehingga dapat dianggap termasuk kaum Masonik.
Dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia”, Herry Nurdi bahkan menengarai kalau Muhammad Yamin pun seorang Masonik karena dia anggota senior Jong Sumatrenan Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera, organisasi yang didirikan di kawasan Weltervreden yang sekarang bernama Gambir. Organisasi ini berdiri karena difasilitasi Perhimpunan Theosofi atau Theosofische Vereniging. Bukti bahwa organisasi ini terkait dengan Freemasonry dapat diendus dari monumen yang dibangun organisasi ini di lapangan Segitiga Michiels, persis di depan Oranje Hotel yang kini bernama Hotel Muara, pada 6 Juli 1919. Monumen yang rampung pada 1920 itu berbentuk obelisk dengan paramida pada puncaknya, serta bola dunia bertengger di atas puncak itu. Obelisk, piramida, dan bola dunia adalah simbol-simbol agung Freemasonry. Herry menulis, dari organisasi inilah Muhammad Yamin kemudian terjun ke percaturan politik Tanah Air, dan menjadi salah satu dari tiga tokoh yang membuat lambang negara Indonesia, burung garuda. Dua tokoh lainnya adalah Sultan Hamid II dan Ki Hajar Dewantara.
Sultan Hamid II dan Ki Hajar Dewantara, menurut Herry Nurdi, memiliki kaitan erat dengan Vrijmetselarij atau Freemasonry, karena Ki Hajar Dewantara merupakan salah seorang anggota senior sekaligus pendiri Boedi Oetomo yang ditunggangi organisasi persaudaraan rahasia Yahudi tersebut. Sedang Sultan Hamid II yang lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie pada 12 Juli 1913 adalah keturunan Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam persaudaraan Vrijmetselarij di Surabaya pada 1944.
Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda. Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada 15 Februari 1950.
(bersambung)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KALENDER

Calendar Widget by CalendarLabs

PENGINGAT WAKTU

Arsip

Flag Counter

Total Pageviews