BELANTARA – Sebagai sekte yang di-create negara penjajah, karakter sekte Wahabi juga tidak berbeda dengan Inggris. Apalagi karena selain ajaran sekte ini jauh menyimpang dari ajaran Islam, juga karena ketika masih berada di Uyainah dan dalam perlindungan Hempher, Muhammad bin Abdul Wahab sempat berjanji kepada Hempher bahwa jika sektenya telah berdiri, ia akan melaksanakan semua isi skema enam paragraph Kementerian Persemakmuran.
Sejarah mencatat, demi meluaskan pengaruh dan menyebarkan sekte Wahabi, juga melaksanakan isi skema enam paragraph Kementerian Persemakmuran, duet Kerajaaan Arab Saudi dan Muhammad bin Abdul Wahab melakukan ekspansi dan penyerangan kemana-mana, dan terjadi lah seperti apa yang diinginkan Inggris untuk menghancurkan Islam, yakni pertumpahan darah dimana-mana yang seluruh korbannya orang Islam. Duet ini tidak pernah mengusik orang Yahudi dan Kristen yang datang ke negeri-negeri di sekitar mereka untuk menjajahnya. Sekali lagi, subhanallah, benar lah sabda Rasulullah Saw seperti diriwayatkan Muslim pada Kitab Az-Zakah, bab al-Qismah, yang penggalannya berbunyi; “ … Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala …”
Penyerangan-penyerangan dan pembunuhan-pembunuhan tersebut diakui sendiri oleh para tokoh Wahabi dan bahkan tercantum dalam buku-buku sejarah resmi sekte ini, seperti buku Ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah yang disusun Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim al-Ashimi al-Qathani an-Najdi yang merupakan kumpulan risalah dan makalah ulama-ulama Najd dari sejak zaman Muhammad bin Abdul Wahab hingga saat ini. Wilayah yang diserang hingga penduduk muslimnya tewas bergelimang darah di antaranya Mekah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah, Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, dan Syam, dan mereka bangga pada tindakannya yang radikal dan tidak sesuai dengan akidah Islam tersebut.
Pertumpahan darah ini mulai terjadi setelah duet Muhammad bin Abdul Wahab dan emir Saudi Muhammad bin Sa’ud mengobarkan semangat jihad terhadap siapapun yang memiliki pemahaman tauhid yang berbeda dengan sekte Wahabi, karena menurut mereka, Muslim non Wahabi adalah kafir, sehingga harus digerebek, dirazia, bahkan dibunuh. Ini terjadi pada 1746 Masehi (1159 Hijriyah). Dalam lima belas tahun sejak jihad dikobarkan, Wahabi berhasil menguasai sebagian besar wilayah Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia tengah, ‘Asir, dan Yaman. Setelah Muhammad bin Abdul Wahab meninggal pada 1791 Masehi (1206 Hijriyah), jihad diteruskan oleh para pengikutnya dan penerus Muhammad bin Sa’ud.
Karbala diserang pada 1802 Masehi (1216 Hijriyah) dengan mengerahkan 12.000 pasukan. Salah satu kota kaum Syi’ah di Irak ini dikepung, penduduknya dibunuh, makam Imam Husein (putra Ali bin Abi Thalib yang juga cucu Rasulullah Saw) dijarah. Versi ulama menyebutkan, penduduk Karbala yang terbunuh dalam peristiwa ini mencapai 5.000 jiwa, sedang versi Wahabi menyebut hanya 2.000 jiwa.
Thaif diserang pada bulan Dzulqa’idah tahun 1217 Hijrah (1803 Masehi). Ketika peristiwa terjadi, sebenarnya antara pemerintahanh as-Syarif Ghalib, gubernur kota Mekah yang memerintah kota itu, dengan Wahabi telah terjalin kesepakatan damai, namun Wahabi melanggarnya. Ribuan penduduk kota ini tewas dan para ulamanya dipaksa untuk mengikuti sekte Wahabi di bawah todongan senjata. Ulama yang setuju, selamat, namun yang menolak dibunuh. Mereka juga merampas apa saja yang berharga dari kota itu.
Tentang serangan ke Thaif ini, ulama Mekah al-Mukaramah bermazhab Syafi’i, Ahmad ibnu Zaini Dahlan dalam kitab Umara ul-Baladil Haram yang ditulisnya, menyatakan begini; “Ketika memasuki Thaif, Wahabi membunuh semua orang, termasuk orang tua renta, anak-anak, tokoh msyarakat dan pemimpinnya, membunuh golongan syarif (ahlul bait), dan rakyat biasa. Mereka menyembelih hidup-hidup bayi-bayi yang masih menyusu di pangkuan ibunya, membunuh umat Islam di dalam rumah-rumah dan kedai-kedai kecil. Apabila mereka mendapati satu jama’ah umat Islam mengadakan pengajian Al Qur’an, maka mereka segera membunuhnya hingga tiada lagi yang tertinggal. Kemudian mereka memasuki masjid-masjid dan membunuhi orang-orang yang sedang ruku’ dan sujud, merampas uang dan hartanya, menginjak-injak mushaf Al Qur’an, dan juga menginjak-injak kitab Bukhari, Muslim, kitab fikih, nahwu, dan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab itu kemudian disobek-sobek, dan serpihannya disebarkan di jalan-jalan dan gang-gang. Mereka merampas harta orang-orang Islam, lalu membagikannya di antara mereka, seperti pembagian ghanimah (harta pampasan perang) dari orang kafir.”
Soal serangan ke Mekah, para ahli sejarah berbeda versi tentang tahun kejadiannya. Abdullah bin Asy-Syarif Husain menyebut kalau penyerangan terjadi pada 1218-1219 Hijriyah (1803-1804 Masehi), namun Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali An-Najdi menyebut pada 1220 Hijriyah (1805 Masehi). Namun yang pasti, penyerangan terjadi persis pada musim haji, karena umat Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji memang merupakan sasaran utamanya. Dalam penyerangan ini, ribuan Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji tewas. Penduduk juga diserang. Mereka ada yang langsung dibunuh, namun ada juga yang disiksa dahulu, baru dibunuh. Bahkan ada yang dimutilasi dalam keadaan masih hidup. Yang lebih sadis, selain merampas harta penduduk, pasukan Wahabi juga menyandera anak-anak dan baru dibebaskan setelah ditebus orangtuanya.
Mekah diduduki Wahabi selama sekitar enam tahun. Pada periode ini, Mekah benar-benar dalam masa kegelapan karena selain penduduk kota ini tak dapat lagi menjalankan syariat Islam dan harus mengikuti paham Wahabi, juga karena mushaf-mushaf Al Qur’an dibakar, kitab-kitab hadist dibakar, bahkan bangunan-bangunan bersejarah dan makam dihancurkan. Penduduk juga dilarang merayakan Maulid Nabi dan membaca barzanzi. Korban terus bertambah karena kezaliman Wahabi membuat penduduk yang masih hidup mengalami bencana kelaparan hebat karena semua harta yang mereka miliki, telah dirampas.
Madinah diserang pada akhir bulan Dzulqa’idah 1220 H, tak lama setelah Mekah dihancurkan. Dalam serangan ini bukan hanya penduduk dibunuhi dan hartanya dirampas, namun rumah Rasulullah Saw pun digerebek dan semua barang berharga di rumah itu dirampas, termasuk lampu dan tempat air yang terbuat dari emas dan perak berhiasakan permata dan zamrud. Sejumlah ulama di kota ini, seperti Shaikh Islmail al-Barzanji dan Shaikh Dandrawi melarikan diri. Pasukan Wahabi juga menghancurkan semua kubah di Pemakaman Baqi, termasuk kubah makam para Ahlul Baits yang terdiri dari istri-istri Nabi Saw dan keturunannya. Pasukan zalim ini bahkan sempat mencoba memusnahkan kubah makam Rasulullah saw, namun begitu melihat di kubah tersebut terdapat lambang bulan sabit yang mereka sangka terbuat dari emas murni, mereka mengurungkannya.
Puas membuat kerusakan, Pasukan Wahabi meninggalkan Madinah yang telah mereka ubah laksana kota mati yang luluh lantak.
(bersambung ….)
0 komentar:
Posting Komentar