BELANTARA – Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pula dengan kejayaan Wahabi. Karena menganggap umat Islam selain pengikut ajarannya adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi umat Islam dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun antipati terhadap sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab, sehingga pada akhir abad 19 dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi. Bahkan selalu dicerca dan dikecam.
Sadar kalau sektenya dalam bahaya, dengan didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu saja, para ulama penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk tetap mengeksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih setiap kali berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama jika berhadapan dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam bukunya yang berjudul as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin menyebut mereka sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi, sehingga sekte ini sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi, pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama Nashiruddin al-Albani, seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam mengacak-acak hadist, dan juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui berdasarkan dialog Albani dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah, pada Juli 1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.
Selain mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung platform dakwah yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya, terkesan sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.
Wahabi adalah sekte dengan ajaran yang bahkan oleh para ulama pengikut mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dianggap sebagai ajaran sesat. Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab, adalah seorang pria arogan, kasar, dan telah dicuci otak oleh Kementerian Persemakmuran melalui salah seorang agen mata-matanya, Hempher, sehingga telah menyimpang jauh dari ajaran Islam. Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah, mengeluarkan fatwa-fatwa yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang dijabarkan dan dijelaskan para ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang mana yang mereka maksud? Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang nyeleneh dan menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di Damaskus, dan meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60 ulama, baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi itu dan juga ajaran Wahabi.
Penggunaan nama salafi, sehingga kini Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib dipertanyakan, karena salafi merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang jika ditinjau dari segi bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat) dan tabi at-tabi’in (pengukut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para imam mazhab karena mereka hidup di tiga abad pertama setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebut kalau sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Yang juga perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri mereka Ahlus Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya sebagai ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.
(bersambung …)
0 komentar:
Posting Komentar