BELANTARA – Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah muncul pada awal perpecahan di kalangan umat Islam, yang diindikasikan dengan munculnya golongan-golongan atau sekte-sekte yang menyimpang dari As Sunnah, berbau bid’ah, dan cenderung sesat. Nama ini dimunculkan para pengikutnya untuk membedakan mereka dengan sekte-sekte dan golongan-golongan yang bermunculan itu, baik dalam akidah maupun manhaj-nya (cara/metode dalam memahami Islam), dimana ajaran yang mereka anut merupakan kelanjutan dari apa yang diajarkan dan dijalankan oleh Rasullulah berserta para sahabat.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki beberapa sebutan yang memperkuat ajaran mereka yang berpegang pada As Sunnah. Sebutan-sebutan dimaksud adalah Ahlul hadist, Ahlul Atsar, Salaf, Firqah Najiyah, dan Thaifah Manshurah.
1. Ahlul Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah, maka Ahlul Hadist berarti orang-orang yang menjadikan hadist sebagai salah satu sumber penerimaan dalam akidah Islam. Penyebutan ini juga digunakan untuk membedakan mereka dengan Ahlul Kalam yang menganggap bahwa dalam hal akidah, kalam mereka harus didahulukan dari hadist Rasulullah. Alasannya adalah, karena hadist hanya memberikan indikasi yang bersifat hipotesis (zhanni), dan yang dituntut dalam masalah akidah adalah yang bersifat yakin (mutlak). Dengan demikian, bagi Ahlul Kalam hadist-hadist Rasulullah sama sekali tak berguna untuk bidang akidah.
Ahlul Hadist semakna dengan Ahlus Sunnah yang artinya kelompok umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan Jama’ah. Karena itu, Imam Ahmad mengatakan; “Kalau mereka (Jama’ah) itu bukan Ahlul Sunnah, saya tak tahu lagi siapa mereka itu”.
2. Ahlul Atsar
Secara bahasa, kata atsar maknanya bekas, sisi atau pengaruh. Sedang secara syar’i (ilmu yang diturunkan Allah SWT) ada dua pendapat dari kalangan ulama. Yakni, mayoritas ulama mengatakan bahwa hadist, sunnah, dan atsar memiliki makna yang sama. Ulama Khurasan menyebutkan bahwa atsar khusus digunakan untuk perkataan dan perbuatan sahabat dan tabi’in. Sedang untuk Nabi disebut hadist atau sunnah.
Ulama yang lain berpendapat bahwa “Atsartu hadistsan” yang berarti “Aku meriwayatkan sebuah hadist”. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Iraqi dan Ibnu Hajar. Maka karena hal ini Ahlus Sunnah sering juga disebut Ahlul Atsar karena mengikuti atsar-atsar yang diriwayatkan Rasulullah dan para sahabat.
3. Salaf
Secara bahasa, salaf adalah orang yang terdahulu sesuai urutan waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jama’ah (kelompok pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapak dan kerabat yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi.
4. Firqah Najiyah (Golongan yang Selamat)
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga disebut Firqah Najiyah berdasarkan hadist-hadist yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan, di mana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat (najiyah) hanya satu saja, yaitu ‘ma ana ‘alaihi wa ash-habi’ (apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya-jama’ah dengan artian ilmu (mengikuti kebenaran), Ahlus Sunnah- dan dalam lafal lain disebutkan ‘Jama’ah’.
5. Thaifah Manshurah
Sebutan ini berarti kelompok yang menang berkat pertolongan Allah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut juga Thaifah Manshurah didasarkan pada hadist-hadist, di antaranya hadist yang diriwayatkan Mughirah yang berbunyi, Rasulullah bersabda; “Akan senantiasa ada manusia dari umatku yang menang sampai datang kepada mereka urusan (keputusan) Allah, sedang mereka dalam keadaan dhahirin (menang).”
Golongan yang dimaksudkan Rasulullah ini adalah golongan pejuang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selalu mendasarkan tindak dan prilakunya berdasarkan tuntunan Al Qur’an dan hadist, sehingga Allah meridhoi mereka dan senantiasa memberi mereka anugerah, perlindungan, dan pertolongan.
Berikut ini ringkasan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dikutip dari buku Dirasatul Firaq, yang datanya dikutip dari penuturan Al-Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi, yang menyusun data tersebut berdasarkan mazhab para ahli fikih Islam seperti Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Ridwanallahu ‘alahim ajma’in. Hanya saja, karena ringkasan dalam buku Dirasatul Firaq cukup banyak, sebanyak 91 item, maka saya kutip beberapa saja.
1. Kami menyatakan tentang tauhid kepada Allah, berdasarkan keyakinan semata-mata berkat taufik Allah: Sesungguhnya Allah itu Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya.
2. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya.
3. Tiada yang berhak untuk diibadahi selain Dia.
4. Yang Maha Terdahulu tanpa awal, yang Maha Kekal tanpa pernah berakhir.
5. Tidak menyerupai makhluk-Nya.
6. Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk taat dan melarang berbuat maksiat.
7. Segala sesuatu berjalan sesuai takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya pasti terlaksana. Tiada kehendak bagi hamba-Nya, melainkan apa yang memang dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki takkan terjadi.
8. Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.
9. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalan penutup para Nabi.
10. Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan
hawa nafsu.
11. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak diketahui kaifiyah (bagaimananya), diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani oleh kaum mukminin dengan sebenar-benarnya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi yang sesungguhnya.
12. Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan kepada Allah.
13. Mi’raj (naiknya Rasulullah ke Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan dan dinaikkan (ke langit) dengan tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah pun memuliakan beliau dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak diwahyukan-nya.
14. Mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz, Al-Qalam, dan segala yang tercatat di dalamnya.
15. Takdir adalah rahasia Allah yang tak dapat diselidiki, termasuk oleh malaikat dan para Nabi yang diutus-Nya. Merepotkan diri untuk menyelidikinya hanya sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat datangnya penyelewengan. Waspadailah seluruh pendapat, pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir, karena susungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir agar tidak diketahui makhluk-Nya,
dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 23 yang berbunyi; “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan mereka lah yang akan ditanya.”
16. Pengertian iman adalah beriman kepada Allah, para malaikat, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk, manis maupun pahit, dan bahwasanya semua itu berasal dari Allah.
17. ‘Arsy dan Kursi-Nya adalah benar ada.
18. Mengimani para malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul, dan bersaksi bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
19. Iman adalah pengakuan dengan lidah dan dibenarkan dalam hati.
20. Yang paling mulia di antara umat adalah yang paling taat dan paling ittiba’ dengan ajaran Al-Qur’an.
21. Mensahkan sholat berjamaah dengan imam yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat, dan menshholatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.
22. Tidak memastikan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka, karena hal itu merupakan ketentuan/keputusan Allah.
23. Tidak mempercayai dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, serta ijma kaum muslimin.
24. Mengimani tanda-tanda datangnya hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan turunnya Nabi Isa AS dari langit. Juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah (binatang yang dapat bicara seperti manusia) dari kediamannya.
(bersambung …)
0 komentar:
Posting Komentar