Oleh Ma’bad Al-Jauhani, seorang tabi’in (generasi kedua setelah Rasulullah Saw) yang pernah berguru kepada Hasan Al-Basri, dan Ghailan Ad-Dimasyqy, seorang orator asal Damaskus yang ayahnya seorang maula Utsman bin Affan, gagasan ini dikembangkan hingga ajaran Qadariah meluas.
Para penyebar Qadariyah meninggal dengan cara mengenaskan karena Ma’bad terbunuh dalam perang yang dipicu konflik antara Gubernur Sajistan Abdurrahman Al-Asy’at dengan pemerintahan Bani Umayah pada 80 H.
Kala itu Abdurrahman menentang pemerintahan Bani Umayah, dan Ma’bad berpihak kepada Abdurrahman. Sedang Ghailan dihukum gantung oleh pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan khalifah dinasti Umayah kesepuluh yang berkuasa pada 105-125 H (724-743 M). Ghailan dihukum karena terus saja menyebarkan ajaran Qadariyah di Damaskus meski telah mendapatkan peringatan dan tekanan dari dua pemerintahan dinasti Umayah sebelumnya, yakni pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan pemerintahan Yazid II (720-724 M).
Firqah Qadariyah adalah golongan atau sekte yang muncul akibat mempersoalkan qada’ (ketetapan atau keputusan Allah atas makhluk-Nya) dan qadar (takdir Allah). Sekte ini mengajarkan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bukan kehendak Allah. Dengan demikian, sekte ini menganggap takdir Allah tidak ada, dan bahkan sekte ini meniadakan sifat-sifat Allah.
Ajaran Qadariyah yang lain yang menyimpang dari ajaran Islam adalah, sekte ini menganggap orang Islam yang melakukan dosa besar bukan kafir, tapi juga bukan mukmin. Orang-orang ini dianggap fasik, dan orang fasik katanya masuk neraka dan akan kekal di dalamnya. Sekte ini bahkan menganggap kalau akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama.
Ayat yang digunakan sekte ini untuk mengeksiskan ajarannya antara lain surah Ali Imran ayat 165 yang artinya; “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (dalam Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (kala Perang Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Penggagas sekte Qadariyah memahami arti ayat ini dengan sangat sempit, picik dan letterlijk atau hanya secara harfiah, tanpa didasari pemahaman dan pengetahuan yang memadai.
(bersambung …)
0 komentar:
Posting Komentar