Salah satu bid'ah dalam Islam. |
BELANTARA – Jabariyah digagas oleh Ja’d bin Dirham dan disebarkan oleh Jahm bin Shofwan dari Khurasan. Seiring dengan waktu, firqah ini juga disebarluaskan oleh Al-Husain bin Muhammad An-Najjr dan Ja’d bin Dirrar.
Jabariyah berasal dari kata jabaro yang artinya memaksa. Alirah Jabariyah sendiri adalah aliran atau paham yang berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Allah SWT, sehingga menurut firqah ini, apa pun yang dilakukan manusia sesungguhnya telah ditentukan oleh qada dan qadar Allah sejak awal penciptaan, sehingga manusia betul-betul tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan melakukan sesuatu, dan terpaksa menjalani saja qada dan qadar mtersebut, tak ada pilihan.
Menurut Ahmad Amin, sejarawan Islam, aliran ini muncul akibat kondisi geokultural bangsa Arab yang terkungkung Gurun Sahara. Ketergantungan mereka pada alam gurun pasir yang ganas memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam karena mereka tidak melihat adanya jalan untuk mengubah keadaan ini sesuai keinginan mereka. Akibatnya, mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup, dan tumbuh lah sikap fatalism yang dalam bahasa Arab berarti jabaro atau jabariyah (terpaksa).
Bibit-bibit kemunculan sekte Jabariyah sudah mulai terlihat pada zaman Rasulullah Saw. Kala itu sahabat berdebat seru tentang takdir Allah, dan Nabi segera melarang mereka untuk memperdebatkan hal itu agar terhindar dari kesalahan menafsirkan ayat-ayat tentang takdir.
Bibit-bibit Jabariyah juga muncul pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, karena kala itu beliau menangkap seorang pencuri, dan ketika diinterogasi, pencuri itu mengatakan; “Allah telah menentukan aku mencuri”. Umar marah sekali dan menuding pencuri itu telah berdusta kepada Allah. Pencuri itu lalu dihukum potong tangan dan dicambuk.
Seusai Perang Shiffin, Ali bin Abi Thalib sitanya oleh seorang tua tentang qadar Allah dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Kata orang itu; “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) terjadi akibat qada’ dan qadar Allah, tak adakah pahala sebagai balasannya?” Ali menjawab bahwa qada’ dan qadar bukanlah paksaan Allah. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Jika qada’ dan qadar merupakan paksaan Allah, batal lah pahala dan siksa, gugur pula lah makna janji dan ancaman Allah, serta tak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian bagi orang yang baik.
Pandangan tentang Jabaniyah kian mengemuka pada era pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni pada masa Abdullah bin Abbas, sehingga beliau berkirim surat kepada penduduk Syiria yang isinya merupakan kecaman dan kritikan karena negeri itu menganut paham Jabariyah.
Menurut Abraham Abdul Karim Syahrastani dalam buku berjudul Al-Milal wa An-Nahl, firqah Jabariyah terpecah menjadi dua kelompok, yakni Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat. Jabariyah ekstrim dipelopori Jahm bin Shofwan dan Ja’ad bin Dirham, sedang Jabariyah moderat dipelopori Husain Ibnu Muhammad Al-Najjr (wafat pada 230 H) dan Dhirar bin Amr (Adh-Dhirar).
Jahm bin Shofwan berasal dari Khurasan, namun bermukim di Kufah. Ia da’i sekaligus seorang orator ulung, dan bekerja sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawalli yang menentang pemerintahan Bani Umayah. Karena dukungannya kepada Harits, pada 131 H, Jahm ditangkap dan dibunuh.
Ja’ad bin Dirham adalah seorang maulana Bani Hakim. Dia tinggal di Damaskus dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen. Dia sempat dipercaya Bani Umayah untuk mengajar di lingkungan pemerintahannya, namun pemikiran-pemikiran Ja’ad yang controversial membuatnya dipecat. Ja’d lalu lari ke Kufah dan bertemu Jahm, dan Jahm pun menjadi murid setianya.
Doktrin Jabariyah ekstrim adalah;
1. Manusia tidak memiliki kemampuan, kehendak, dan hak memilih karena seluruh tindakan dan perbuatannya tidak boleh lepas dari qada’ dan qadar Allah.
2. Manusia tak mampu berbuat apa-apa karena tak punya daya, dan kehendak sendiri, dan tak punya pilihan. Karena itu, apapun yang dilakukan manusia, bukan perbuatan yang timbul akibat kemauan sendiri, namun perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya, sehingga jika manusia berbuat sesuatu, apa yang dilakukannya bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti majazi atau kiasan, seperti perumpamaan air yang mengalir, batu bergerak, matahari terbit, dan sebagainya.
3. Surga dan neraka tidak kekal dan tidak ada yang kekal selain Allah.
4. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati (sama dengan Murji’ah).
5. Al Qur’an adalah makhluk karena Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, sehingga Allah tidak berbicara, melihat, mendengar, dan tak dapat dilihat di akhirat kelak.
Doktrin Jabariyah moderat adalah ;
1. Allah lah yang menciptakan perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk. Namun dalam perbuatan itu, manusia memiliki andil karena tenaga yang dianugerahkan Allah mempunyai efek yang membuat manusia melakukan perbuatan itu. Tenaga yang mendorong terciptanya perbuatan-perbuatan tersebut disebut kasb atau acquisition.
2. Allah tidak dapat dilihat di akhirat, namun An-Najjr mengatakan bahwa Allah dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat-Nya.
Pemahaman sekte ini tentang qada dan qadar sangat kacau. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar