Menyajikan Informasi Istimewa dan Penting

Memuat...

Rabu, 01 Juni 2016

Islam yang Lurus dan Menyimpang – 8

BELANTARA – Di kalangan pakar sejarah Islam terjadi perbedaan pendapat tentang asal usul kemunculan firqah Mu’tazilah. Ini karena nama tersebut erat kaitannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi di dunia Islam pada masa kelahiran firqah ini. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa nama Mu’tajilah diberikan oleh kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah setelah terjadi perdebatan antara imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Hasan Al-Bashari, dengan seorang laki-laki yang menjadatngi majelis pengajiannya di Masjid Bashrah.

Dalam perdebatan itu, laki-laki itu bertanya kepada Imam Hasan bagaimana sikap mukmin dalam menanggapi ajaran Khawarij yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, dan aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa maksiat tidak membahayakan iman. Selagi Imam Hasan terdiam untuk mencari jawaban yang tepat, salah seorang muridnya, Washil bin Atha’ menyela. Dia mengatakan; “Saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak, namun berada di satu posisi di antara keduanya. Jadi, tidak mukim, tapi tidak juga kafir.”

Imam Hasan segera membantah kata-kata Washil karena menurut ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pelaku dosa besar tetap mukmin, namun imannya berkurang. Washil merasa dipermalukan dan menyendiri di sudut masjid. Imam Hasan lalu berkata; “Dia telah memisahkan diri dari kita (i’tazalana).” Sejak itu, Washil dan para pengikutnya disebut Mu’tazilah yang artinya kelompok yang memisahkan diri atau menyempal dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Firqah Mu’tazilah mulai berkembang pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan berlanjut pada masa pemerintahan Histam bin Abdul Malik (era Dinasti Umayah). Sekte ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Al Makmun di era khalifah Abbasiyah karena khalifah penganut sekte ini Bahkan kala itu para pemimpin Mu’tazilah, seperti Biysr Al-Muraisy, Tsumamah bin Asyras, dan Ibnu Abi Du’at menjadi penasehat Al-Makmun. Pada masa ini lah timbul fitnah yang terkenal dengan nama fitnah khalqul Qur’an dimana para ulama Ahlus Sunnah yang menolak mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dipenjarakan dan disiksa. Satu di antaranya adalah Imam Ahmad. Kejayaan Mu’tazilah ini berlangsung hingga era pemerintahan Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.

Pada masa pemerintahan Al-Mutawakil yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah (323 H), sekte Mu’tazilah diberantas dan para ulama Ahlus Sunnah dibebaskan dari penjara. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih di Persia pada 334 H, Mu’tazilah kembali naik daun karena para tokohnya menjalin hubungan erat dengan penguasa Bani Buwaih yang menganut paham Rafidhah. Abdul Jabbar, salah seorang tokoh Mu’tazilah, bahkan diangkat menjadi qadhi untuk wilayah Ra’i pada 360 H atas perintah Shahib bin Ibad, menteri Muayid Daulah. Shahib ini, menurut Imam Adz-Dzahabi, adalah seorang Syi’i Mu’tazilah Mubtadi’. Menurut Imam Al-Mu’tazi, di bawah perlindungan daulah Buwaihiyah ini lah Mu’tazilah dapat berkembang di Irak, Khurasan, dan negeri-negeri di belakang sungai yang kini bernama Uzbekistan.

Inilah akidah dan ajaran Mu’tazilah yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
1. Lima dasar utama sekte ini adalah tauhid, al-adlu (keadilan), infadzu al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, dan amar ma’ruf nahi munkar. Tauhid bermakna mengingkari sifat-sifat Allah, karena mengakui sifat-sifat Allah berarti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya yang memiliki banyak sifat dan nama, sehingga Allah tidak esa. Tauhid juga berarti mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Al-adlu berarti menolak takdir, karena jika mengakuinya berarti mengakui kalau Allah menzalimi hamba-Nya. Infadzu al-wa’id bermakna, jika orang berbuat dosa besar dan sebelum bertaubat telah meninggal, maka kekal di neraka dan tidak mendapat syafaat dari-Nya. Al-manzilah baina al-manzilatain berarti jika melakukan dosa besar, maka orang Islam keluar dari iman, namun tidak kafir. Dan amar ma’ruf nahi munkar berarti kewajiban orang non Mu’tazilah untuk melaksanakan apa yang diperintahkan penganut Mu’tazilah, dan mewajibakan non Mu’tazilah untuk ikut melaksanakan apa yang wajib mereka kerjakan sesuai akidahnya.

2. Mengandalkan akal secara penuh dalam masalah akidah, sehingga jika ada ayat Al-Qur’an dan hadist yang dianggap tidak sesuai dengan logika, maka wajib ditolak.

3. Demi mendapatkan pembenaran atas ajaran mereka, tak segan-segan mengkritik, menghujat, dan mencela para sahabat Rasulullah Saw, serta menuduhnya dengan keji. An-Baszam, salah seorang tokoh Mu’tazilah, bahkan tanpa sungkan mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah kekal di neraka.

4. Mengingkari hadist mutawatir karena menganggap hadist shahih ini bisa saja mengandung kedustaan.

5. Menolak kehujjahan hadist ahad (hadist yang disampaikan oleh seorang ulama atau sahabat Rasulullah), meski sebagian besar ulama menganggap hadist tersebut shahih, kecuali jika digabungkan dengan hadist ahad lain yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dikuatkan oleh hadist yang lain atau dengan ayat Al-Qur’an, atau dikerjakan oleh lebih dari satu sahabat Rasulullah.

Seperti kebanyakan firqah-firqah sesat, Mutazilah juga terpecah menjadi beberapa sekte. Asy-Syahrastani menyebut, Mu’tazilah terpecah menjadi 12 sekte, yaitu Al-Wasiliyah, Al-Hudzailiyah, An-Nadhamiyah, Al-Khatibiyah, Al-Bisyriyah, Al-Mu’ammariyah, Al-Mardariyah, Al-Tsumamiyah, Al-Hisyamiyah, Al-Jahidziyah, Al-Juba’iyah, dan Al-Bahmasyiyah.

(bersambung)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KALENDER

Calendar Widget by CalendarLabs

PENGINGAT WAKTU

Arsip

Flag Counter

Total Pageviews